Selasa, 12 Mei 2015

Cerpen - Kalau Tak Suka Kembalikan

Sebuah mobil berhenti di depan rumah, pintu pagar otomatis terbuka. Perlahan mobil di jalankan masuk ke dalam bagasi. "Hore!!! Papa pulang" Terlihat anak - anaknya berlari mengikuti mobilnya.

"Pinggir, bahaya tau." ucap sang ayah dengan nadaberteriak.

Anak - anak terdiam. Cahaya kegembiraan yang terpancar di wajah mereka seketika memudar.

"Arman, bawa adik ke dalam." Sang ayah memberikan panduan kepada anak tertuanya.

 Kepulangan sang ayah pada sore itu di sambut dingin oleh anak - anaknya. Istrinya pun ikut terdiam, mendengarkan pengaduan dari anak - anaknya tentang Papanya.

"Papa kecapean. Arman, bawa adikmu mandi. Mama mau siapkan minum untuk Papa dulu. Setelah Papa selesai minum, Papa pasti akan bermain bola dengan kita." pujuk Yanti.

Sementara itu, Papanya yang mendengarkan di ruang tamu hanya mendengus. Tidak berapa lama kemudian terdengar suara berisik dari arah kamar mandi.

"Hah,,, Main air? Pantas saja bulan ini Papa bayar air begitu mahal. Cepat matikan paip tu!!! mandi pakai shower aja." sergahnya.

Suara yang bergema itu mematikan tawa anak - anaknya.

"Setiap kali saya pulang kerumah, pasti berantakan. Kain berserakan, apa kamu di rumah cuma makan, tidur dan duduk saja?" sambungnya kembali saat melihat iistrinya sedang berdiri di belakang pintu kamar mandi.

"Anak - anak, Pa. Mereka yang bermain. Tak apa - apa, nanti Mama kemas semuanya. Papa minum dulu, Mama sudah siapkan di taman.?" balas istrinya lembut.

"Fail saya yang di depan mana?"

"Mama, letak di lemari, Pa. Takut di mainkan oleh anak - anak."

"Bisa gak kamu jangan mengganggu barang - barang, Papa? Fail itu harusnya Papa bawa meeting siang tadi." rungutnya meskipun di hati keclnya mengakui kebenaran dari kata - kata istrinya.

Suasana kembali sepi. Terasa sangat begitu jauh berbeda. Dia tercari - cari suara berisik anak - anak dan wajah istrinya.

"Laila" keluhnya yang akhirnya terbaring di sofa. "Papa mau ke out station minggu depan."

"Lama?" tanya Yanti

"Mungkin satu minggu."

"Liburan sekolah juga lama, Pa. Boleh saya ikut?"

"Anak - anak?''

"Ikut juga lah, Pa."

"Tidak,,, tidak,,, tidak !!! Susah nanti. Macam - macam tingkah yang akan mereka buat di sana nanti. Ingat saja waktu kita pergi ke legacy dulu."

"Waktu itu, Ardy masih kecil, Pa." jawab Yanti dengan wajahnya yang sayu. Dia masih berusaha memujuk suaminya, meskipun dia tahu suaminya meski pun dia tahu kalau suaminya tak akan merubah keputusan yang telah di buatnya tadi. "Tak mungkin Ardy akan mengulangi kesalahannya memecahkan piring di hotel, Pa. Waktu itu dia masih sangat kecil, Pa. Belum memiliki pikiran seperti sekarang ini. Lagi pula berapa lah harga piring yang di pecahkannya itu, malahan pihak hotel tidak meminta ganti rugi. Boleh lah, Pa. Sudah sangat lama kita tidak pernah pergi kemana - mana "

"Kalau Mama memang ngin betul jalan - jalan. Sabtu ini Papa antar Mama pulang kampung."

Sesuai dengan perkataannya, akhirnya pas hari sabtu. Anak dan istrinya di antarkannya ke kampung halamannya. Yanti tidak berkata apa - apa, akan tetapi dia tahu kalau di dalah hati kecil istrinya itu sedang menggerutu. Berbeda dengan anak - anaknya, yang tampak begitu riang gembira ketika mobil berhenti pas di depan rumah nenek mereka. Tidak begitu lama dia berada di rumah mertuanya itu, dia pun bergegas dan pamitan untuk pulang. Ayah mertuanya membekalkan dia sebuah kitab lama.

"Cobalah baca kitab ini, Bapak mengambilnya dari masjid saat mereka ingin membakarnya. Bapak sengaja mengambilnya untukmu."

"Mana lah saya ada waktu untuk membacanya."

"Tidak mengapa, peganglah dulu. Kalau kamu tidak suka. Kamu boleh mengembalikan ke Bapak."

mendengar ucapan mertuanya itu, dia tersentak kaget dan kata - kata itu selalu terlinta di pikirannya. "Kalau tak suka kembalikan"

Apakah Bapak mertuanya mengetahui masalah yang tengah melanda rumah tangganya? Bukan... Bukan tak suka, malahan dia tambah sayang dengan Yanti. Meskipun Yanti memang bukan pilihannya. Dunia akhirat Yanti adalah istrinya...

Seminggu sudah berlalu, dia pun sudah menjemput istrinya dan membawanya pulang.

Malam harinya saat berada di meja makan, Yanti yang tidak mendapati suaminya berada di ruangan itu, menyuruh anak tertuanya untuk memanggil Papanya.

"Papa... Makan." teriak Arman

"Tak bisakah memanggil, Papa secara baik? Papa tidak tuli tau..." bentaknya

Arman kemudian menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. "Kenapa Papa marah - marah?" ucapnya dalam hati.

"Mama masak apa?"

"Mama masak sop tulang dengan sambal udang." jawab Ardy memotong sebelum Mamanya sempat menjawab.

"Tak ada yang lain kah yang bisa Mama masak? Dah lah, Papa tak mau makan, hilang selera."

"Papa mau kemana?" tanya istrinya pelan

"Mau keluar."

"Mama sudah masak, Pa."

"Tak apa lah, Ma. Ardy bisa menghabiskan semua masakan, Mama!!!" potong Ardy yang memang melihat Papanya sudah sampai di depan pintu

Yanti tahu kalau anak keduanya itu hanya membujuk untuk menyenangkan hatinya. Anaknya itu memang sudah pandai mengambil hatinya. Setelah melihat Papanya sudah benar - benar keluar Ardy dan Arman bertanya kepada Mamanya. "Ma, kenapa belakangan ini Papa sering marah - marah?"

"Mungkin Papa lagi banyak kerjaan. Sudahla, ayo kita makan."

"Abang tak suka lihat Papa marah - marah." sergah Arman.

"Adik pun begitu, kalau lihat Papa marah, mukanya seperti Gorilla kan?" Kata - kata Ardy barusan di sambut dengan tawa Mama dan saudaranya yang berada di ruangan itu.

Di dalam hati kecil Yanti berbisik, Apa salahku terhadap Papa sehingga menjamah masakanku pun tidak... Kalau pun aku ada salah, Apa?

Beberapa minggu kemudian...

Di telusurinya garis wajah istrinya, di situ Heru melihat ada sesuatu yang berbeda. Raut wajah yang tenang, akan tetapi ada sesuatu yang sangat sukar untuk di tafsirkan."Mama sakit?"

Yanti tersenyum, kemudian menuangkan segelas air minum.

"Papa, tak lama lagi Ardy akan memiliki satu orang adik lagi." Ardy yang memang sedari tadi berada di dekat mamanya menyela pembicaraan.

Heru tersenyum, jemari istrinya di genggamnya erat. Tiba - tiba cangkir berisi kopi yang yang masih panas terjatuh dan pecah di lantai. Ardy terkejut.

"Lihat! Ada aja yang kamu buat. Coba kamu duduk baik - baik. Kalau air itu kena Mama atau Papa gimana?" Heru memarahi anaknya yang terlihat tertunduk karena ketakutan, sambil berlindung di balik baju Mamanya yang di tariknya.

Heru memegang tangan Ardy sangat kuat, yang menyebabkan anak itu nangis. Seketika di ayunkannya tangannya yang terlihat ingin menampar wajah anak keduanya itu. Namun, Yanti segera menangkis dan menangkap tangan Heru.Namun, Heru menolak Yanti hingga dia beberapa kali memukuli anaknya.

"Kelakuan buruk, tak pernah bikin orang senang !!!"

Yanti bangun dari jatuhnya dan menarik lembut Ardy kedalam pelukannya. Airmata mereka bersatu. Sungguh pilu hatinya melihat kekasaran suaminya terhadap anak - anaknya.

"Cukuplah, Pa. Papa sudah hukum dia, tapi janganlah Papa sebut yang bukan - bukan." ujar Yanti.

"Macam mana kamu didik anak - anak sehingga kelakuannya begitu buruk? Coba kamu lihat anak orang lain, ada seperti anak kita ini? Coba lihat anak tetangga tu, tidak pula seperti anak kita ini kelakuannya." Omel Heru.

Heru mengusap wajahnya. Dia merasa bersalah kepada Ardy. Kenapa terhadap anak itu dia selalu tidak pernah suka. Ada saja salah Ardy di matanya. Selalu ada saja yang kurang berkenan di hatinya terhadap anak - anak dan istrinya. Tidak cukup dengan perbuatan, dia malah dengan begitu mudahnya melemparkan kata - kata yang bukan - bukan terhadap mereka.

"Tidak bisakah kalian semua diam dan tidak berisik, sehari saja? Aku tidak pernah merasa tenang kalau berada di rumah ini."

Yanti kemudian menyuruh anak - anaknya bermain bola di halaman belakang rumah. Dia bermaksud ingin memberikan ketenangan untuk suaminya nonton Tv. Namun, namanya kecelakaan siapa yang tahu, dari arah belakang rumah. Terdengar suara kaca jendela pecah.

"Celaka betul !!!" Sumpahnya sambil memukul meja dengan kuat.

"Abang" gumam Yanti yang melihat suaminya marah

"Baik kamu lihat anak - anak kamu itu sebelum aku menghajar dan menhambatnya dengan rotan !!! Kelakuan sama dengan siluman." cetusnya kasar

Akhirnya kaca jendela yang pecah kembali di ganti. Cerita sumpah seranahnya sore itu hilang begitu saja, Yanti berubah. Sikapnya yang pendiam, kini menjadi semakin pendiam. Anak - anaknya juga sedikit menjauh. Tak ada lagi cerita tentang Arman yang periang. Tak ada lagi cerita tentang Ardy yang Jenaka. Ardy juga sudah tidak mau lagi memanggilnya untuk makan.

Heru merasa puas hati, Barang kali itu saja cara yang bisa memberikannya sedikit pelajaran pada anak - anaknya.

Saudara - saudara yang datang berkunjung kerumahnya satu persatu berpamitan di saat Hendra berpamitan dia sempat menyemangati Heru. "Sudahlah, Om. Jangan bersedih terus. Om, masih muda. Om, akan dengan mudah untuk mencari pengganti Tante Yanti."

Alangkah mudahnya jika dia masih bisa menemukan sosok wanita seperti Yanti. Tidak ada satu pun yang kurang dari Yanti sebagai seorang Istri, hanya saja Heru tidak pernah merasa puas hatinya. Yanti tidak pernah sekali pun memperlihatkan wajah cemberutnya jika di marah. Yanti tidak pernah membantah. Sepanjang usia pernikahannya mereka Yanti tidak pernah meminta lebih dari apa yang telah ia berikan. Yanti hanya mendapatkan tempat B meskipun dia layak untuk mendapatkan tempat yang lebih baik dari tempat A.

Ya, Yanti kini telah pergi membawa semua anak - anaknya. Tidak ada satu pun yang di tinggalkannya. Yanti, Arman, Ardy dan calon anaknya telah pergi untuk selamanya. Mereka meninggal akibat kecelakaan.

Pagi itu, anak - anak sekali lagi di marah ketika hendak pergi kesekolah. Arman dan Ardy rebutan tempat duduk ketika hendak sarapan. Hal itu menyebabkan air cuci tangan tumpah ke meja. Kemaraha Heru tiba - tiba menguasai dirinya, kepala kedua anaknya di hantukan. Bukan itu saja, dari mulut Heru juga keluar kata - kata yang tidak seharusnya di ucapkan. "Kalian semua ini, kalau seperti ini terus, seharusnya kalian tak ada, daripada ada tapi bikin pusing terus. Bikin susah saja."

Yanti yang mendengar perkataan kasar suaminya termenung. Matanya berkaca - kaca dan anak - anaknya waktu itu tidak ada satu pun yang menyalaminya ketika hendak berangkat kesekolah. Yanti juga tidak berkata apa - apa sebelum menghidupkan Mobilnya untuk mengantar anaknya kesekolah. Heru juga melihat Yanti yang menghapus air matanya. Kemudian dia melanjutkan sarapannya.

Sejenak dia terpandang hidangan untuk anak - anaknya yang tak tersentu. Susu masih penuh di dalam gelas. Roti telur yang menjadi kesukaan anak - anaknya juga tidak diambil. Selama ini Yanti tidak pernah lupa. "Kalau Tak Suka Kembalikan" Kata - kata itu kembali terlintas di dalam benaknya.

Kali ini dia benar - benar menangis. Yanti dan anak - anaknya tidak pulang kerumah sejak pagi itu. Hari - harinya tak lagi di ganggu oleh perilaku anaknya yang berisik. Rumah menjadi sepi dan sunyi. Tetap dia tidak bisa tidur dengan tenang. Di halaman belakang rumah hanya ada kenangan. Kelibatan anak - anaknya bergumpal dan berlari mengejar bola tak lagi terlihat. Suara berisik jika anak - anaknya mandi tidak lagi terdengar. Kini Heru mulai di hantui oleh rasa kerinduan yang begitu dalam. Hanya ada kesunyian di mana - mana. Hanya tinggal bola yang terselip di rumput bunga.

Selaut rindu mulai menghambat patai hatinya.

Benarlah, kata pepatah. Kita akan tahu harganya jika kita kehilangan.

Yanti tidak akan pernah pulang, sekali pun dia berjanji untuk berubah. Yanti pergi membawa anaknya pagi itu menggunakan mobilnya dan di tabrak oleh mobil truk yang sedang melintas dengan kecepatan tinggi. Yanti pergi tanpa meninggalkan satu pun anak untuknya. Yanti pergi membawa Arman, Ardy dan anak yang akan di lahrkannya dua bulan kedepan...

Heru menangis sejadi - jadinya ketika melihat wajah anak dan istrinya. Dia memeluk tubuh Yanti yang berlumur darah. Umpamanya Yanti adalah kitab lama itu, yang di berikan mertuanya. Lapuk bagaimanapun di pandang harganya tak terbanding dan karena keenggananya Yanti pun di pulangkan.

Kita tidak akan menghargai sesuatu sehinggalah kita kehilangannya....

Penulis : Yunus Man



Tidak ada komentar:

Posting Komentar